Tumbasin, startup e-grocery yang sempat digadang-gadang mempermudah belanja kebutuhan sehari-hari, resmi menghentikan layanannya di sebagian besar wilayah operasional pada Mei 2023. Keputusan ini menunjukkan betapa sengitnya persaingan di sektor e-grocery dan tantangan besar dalam mencapai skala bisnis yang berkelanjutan. Meskipun demikian, sebagian operasional di Semarang masih berlanjut melalui WhatsApp, mengindikasikan adanya adaptasi, namun juga kesulitan dalam mengelola ekspansi besar-besaran, sebuah sinyal penting bagi industri.
Inti permasalahan yang membuat Tumbasin menghentikan layanannya adalah model bisnis e-grocery yang membutuhkan investasi masif dan efisiensi operasional tinggi. Logistik “last-mile” (pengiriman dari gudang ke konsumen) sangat mahal, terutama di kota-kota besar dengan lalu lintas padat. Tumbasin kesulitan mencapai profitabilitas yang stabil di tengah biaya operasional yang terus membengkak, sebuah tantangan struktural yang perlu diatasi.
Persaingan ketat dengan pemain besar lain di industri e-grocery juga menjadi faktor signifikan yang membuat Tumbasin menghentikan layanannya. Platform raksasa dengan dukungan finansial kuat seperti HappyFresh, Sayurbox, atau bahkan fitur grocery dari e-commerce umum, mampu menawarkan promosi agresif dan cakupan layanan lebih luas. Tumbasin, sebagai pemain yang lebih kecil, sulit untuk bersaing dalam hal penetrasi pasar dan menarik basis pengguna yang masif, yang menyulitkan pertumbuhan.
Tantangan pendanaan juga bisa menjadi alasan Tumbasin menghentikan layanannya. Startup e-grocery seringkali membutuhkan putaran investasi yang berkelanjutan untuk mendukung ekspansi dan operasional. Di tengah iklim investasi yang lebih konservatif, mungkin Tumbasin kesulitan mendapatkan dana segar yang diperlukan untuk bersaing secara efektif dan menjaga momentum pertumbuhan mereka. Ini adalah faktor krusial bagi kelangsungan bisnis.
Fakta bahwa Tumbasin masih melanjutkan sebagian operasional di Semarang melalui WhatsApp menunjukkan adanya upaya adaptasi dan loyalitas basis pelanggan lokal. Ini mengindikasikan bahwa model yang lebih kecil dan terfokus secara geografis mungkin lebih berkelanjutan daripada ambisi ekspansi nasional. Namun, hal ini juga memperlihatkan kesulitan dalam mencapai skala besar, sebuah indikasi pasar yang ketat dan selektif.
Kisah Tumbasin adalah pengingat penting bagi startup di Indonesia. Bahwa ide bagus saja tidak cukup; dibutuhkan eksekusi yang sempurna, model bisnis yang berkelanjutan, dan adaptasi cepat terhadap dinamika pasar yang terus berubah. Inovasi logistik dan efisiensi operasional adalah kunci.
Penutupan operasional di sebagian besar wilayah Tumbasin tentu disayangkan. Namun, ini juga menjadi pelajaran berharga bagi ekosistem startup dan investor tentang realitas dan tantangan dalam industri e-grocery di Indonesia.